Menyenangkan pasti jika kita menjadi orang yang sehat. Tidak sakit, dan juga tidak memiliki keluhan baik fisik maupun psikisnya. Kesehatan adalah hak setiap individu. Setiap individu patut untuk memperoleh kesehatan, baik kesehatan jasmani ataupun kesehatan rohani. Kesehatan mental juga perlu kita perhatikan lebih jauh lagi. Karena mental seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku kesehariannya yang akan mempengaruhi kesehatan fisik dan sosialnya.
Tapi sebelum membicarakan kesehatan mental lebih dalam lagi, tidak ada salahnya kita mengetahui lebih dulu apa itu sehat, konsep sehat, sejarah perkembangan kesehatan mental, bagaimana pribadi seseorang dapat berkembang, dan apa itu kepribadian sehat.
Kesehatan (health) didefinisikan berbeda-beda oleh setiap orang dalam berbagai profesi. Freund yang mengutip The International Dictionary of Medicine and Biology mendefinisikan kesehatan sebagai suatu kondisi yang dalam keadaan baik dari suatu organisme atau bagiannya, yang dicirikan oleh fungsi yang normaldan tidak adanya penyakit. Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri organisme sehat yaitu suatu keadaan tidak adanya penyakit pada diri organisme tersebut.
Kamus lain mendefinisikan kesehatan dengan 1. Condition of a person’s body or mind. 2. State of being well and free from illness (1. Kondisi dari tubuh dan pikiran seseorang. 2. Kesatuan dari suatu kesejahteraan dan bebas dari penyakit). Pada pemahaman ini unsur kesehatan tidak hanya berasal dari segi fisik, namun sudah merambat kepada unsur jiwa dan kesejahteraan, yang tentunya tidak lepas dari masalah psikologis.
Konsep sehat beserta dimensinya
Apakah konsep sehat itu?
Konsep bisa didefinisikan sebagai pembawa suatu arti. Sedangkan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sehat merupakan suatu kondisi baik dari organisme atau tidak sakit dan menyimpang dari yang seharusnya. Konsep sehat adalah konsep yang timbul dari diri kita sendiri secara sadar mengenai bebeapa upaya untuk mendapatkan status sehat bagi tubuh kita. Konsep sehat ini juga terkait dengan ketiga komponen yang selalu saling berhubungan. Pemahaman konsep sehat bisa diartikan sebagai keseimbangan, keserasian, keharmonisan antara faktor pikir (akal), jiwa (mental/spiritual) dan raga (fisik/lahiriah). Jika ketiga faktor ini terintegrasi secara baik dan berimbang, kita telah dapat memahami konsep sehat secara utuh. Konsep sehat inilah yang akan menuntun kita pada pola atau tata laku sehari-hari yang sehat.
Konsep kesehatan mental mengalami perubahan dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan konsep tersebut membawa dampak pada perubahan cara-cara penanganan terhadap mereka yang dianggap mengalami gangguan mental.
Selain adanya konsep sehat, kita juga harus mengenal dimensi-dimensi yang terkandung di dalam konsep tersebut. Secara umum, WHO (1984) mengakui bahwa ada 4 dimensi kesehatan, yaitu fisiologis (biologis), kejiwaan (psikiater), sosial, dan spiritual/keagamaan. Atau bisa disebut juga dengan sehat bio-psycho-social-spiritual.
Sejarah Perkembangan Kesehatan
Sejarah perkembangan mental tidak sejelas sejarah perkembangan ilmu kedokteran. Hal ini dikarenakan orang yang mengalami penyakit mental kadang tidak terdeteksi oleh kasat mata. Tidak terlihat dan tidak menonjol dari pribadi orang yang mengalaminya.
Asumsi mengenai sejarah kesehatan mental berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Mulai dari berbagai takhayul hingga perlawanan diskriminasi terhadap gangguan mental. Sejarah perkembangan kesehatan mental juga melewati beberapa tahap hingga sekarang ini.
- Gangguan mental tidak dianggap sebagai sakit
Tahun 1600 dan sebelumnya
Di Amerika, dukun asli Indian, sering juga disebut sebagai “penyembuh” (healer, shaman) menangani orang yang mengalami gangguan mental dengan cara memanggil kekuatan supranatural dan menjalani beberapa ritual-ritual yang dipercayai saat itu.
Pandangan masyarakat saat itu menganggap bahwa orang yang mengalami gangguan mental adalah orang yang dirasuki oleh roh para leluhur yang ada di sekitar mereka. Mereka menganggap orang-orang tersebut memiliki kesalahan kepada roh-roh atau roh-roh merasuki tubuh mereka karena ingin menyampaikan sesuatu. Dan tidak sedikit pula orang yang mengalami gangguan mental pada saat itu memiliki posisi lebih tinggi dari orang biasanya karena dianggap orang-orang yang sakit mental tersebut memiliki hubungan dengan para roh yang mereka percayai.
Tahun 1692
Orang Amerika mendapat pengaruh oleh orang Eropa yang beragama nasrani. Mereka menganggap bahwa orang yang mengalami gangguan mental adalah orang yang terkena sihir atau dirasuki setan. Maka pada masa itu orang-orang yang terkena gangguan mental sering kali ditakuti dan dijauhi oleh masyarakat.
Sedangkan di Eropa, orang yang memiliki gangguan mental sering dianggap sebagai penjahat/kriminal, sehingga mereka dijebloskan ke penjara. Dan mendapatkan punishment yang cukup berat dari masyarakat sekitar secara tidak manusiawi.
- Gangguan mental dianggap sebagai sakit
Tahun 1724 – 1908
Pendeta Cotton Mather (1663-1728) mengemukakan dan menjelaskan bahwa penyakit mental berkaitan dengan gangguan fisik dan tidak berhubungan dengan hal-hal spiritual. Pada saat ini pendekatan secara medis mulai diperkenalkan.
Benjamin Rush (1745-1813) menangani masalah penanganan secara manusiawi untuk penderita penyakit mental dengan publikasinya yang berjudul Medical Inquiries and Observations Upon Diseases of the Mind. Buku ini merupakan buku teks psikiatri pertama di Amerika.
Selain itu, pada masa ini mulai bermunculan beberapa rumah sakit yang menangani gangguan mental dan berkembangnya peranan para psikiater dalam rumah sakit mendukung perlakuan yang manusiawi terhadap penderita penyakit gangguan mental.
Tahun 1909-1947
Pada masa ini para ilmuwan mulai menggunakan alat tes yang dapat mendeteksi beberapa gangguan kesehatan mental. Selain itu juga dibuat aturan-aturan bahwa hanya orang yang telah lulus dari sekolah kedokteran dan menjalankan praktek psikiatri yang dapat menjadi calon untuk pelatihan psikoanalisa. Beberapa undang-undang juga telah menyebar ke beberapa Negara bagian.
Pada tahun 1920-1930 di Eropa terjadi perubahan treatment dalam menangani gangguan mental. Perubahan ini berkat pengaruh dari teori Freud yang pada masa itu menjadi terkenal. Perubahan itu meliputi:
· Treatmen di rumah sakit kurang diminati, diganti dengan treatmen yang dilakukan di luar rumah sakit
· Treatmen dilakukan tidak memerlukan sertifikasi
· Treatmen dilakukan di rumah pasien
Perkembangan obat-obatan dan tehnik penyembuhan makin berkembang. Seperti insulin yang digunakan untuk penderita schizophrenia, elektroterapi yaitu terapi dengan cara mengaplikasikan listrik ke otak, serta didirikannya rehabilitasi psikiatrik untuk penderita gangguan mental
Tahun 1950
Melalui program televisi, distribusi literature, dan media lainnya, NMHA melanjutkan mendidik publik Amerika pada isu-isu kesehatan mental dan mempromosikan kesadaran akan kesehatan mental. Media Inggris juga sudah mulai mengungkapkan kesehatan mental. Pada masa ini segala hal yang tabu berkaitan dengan gangguan mental mulai dibuka dan dibicarakan secara umum.
- Gangguan mental dianggap sebagai bukan sakit
Tahun 1961-1980
Gangguan mental dianggap sebagai tindakan orang yang secara mental tertekan karena harus bereaksi terhadap lingkungan. Munculnya perawatan yang terencana, yaitu dengan opname di rumah sakit dengan jangka waktu yang pendek dan treatmen dengan lingkungan rumah atau masyarakat.
- Melawan diskriminasi terhadap gangguan mental
Tahun 1990-1997
NMHA memunculkan Disabilities Act yang melindungi warga Amerika yang secara mental dan fisik disable dari diskriminasi pada beberapa wilayah. Diperkenalkannya obat antipsikotik atipikal yang pertama. Selain itu, peneliti menemukan kaitan genetik pada gangguan bipolar yang menunjukan bahwa penyakit ini diturunkan.
Dan semakin lama tanggapan mengenai kesehatan mental mulai di tanggapi lebih serius dan lebih banyak bidang yang mencakupnya. Penanganan bagi kesehatan mental pun menjadi lebih manusiawi.
Bagaimana pribadi seseorang dapat berkembang?
Apakah kepribadian itu? Banyak teoretikus yang menyumbangkan pemikirannya untuk makna kepribadian. Mereka menilai makna kepribadian dari sudut pandang yang berbeda-beda. Kepribadian merupakan bagian dari individu yang paling mencerminkan atau mewakili si pribadi, bukan hanya dalam arti bahwa ia membedakan individu-individu dari orang-orang lain, tetapi bahwa itulah ia yang sebenarnya. Pandangan Alport bahwa “kepribadian merupakan apa orang itu sesungguhnya” adalah contoh tipe definisi ini. Kepribadian meliputi apa yang paling khas dan paling karakteristik dalam diri orang tersebut.
Seseorang dapat berkembang dipengaruhi oleh lingkungan ataupun faktor bawaanya. Kepribadan seseorang juga dapat terbentuk dari proses belajar, juga kejadian masa lalu, dan masih banyak lagi penyebab yang dapat membentuk kepribadian seseorang. Para teoretikus juga telah membahas perkembangan pribadi seseorang, seperti Freud dan Erikson yang akan kita simak setelah ini.
Teori perkembangan kepribadian Erikson terkenal dengan sebutan teori psikososial Erikson, teori ini terdiri dari delapan tahapan yang berlangsung sepanjang rentang kehidupan.
1.
1. Basic Trust vs Basic Mistrust (0-18 bulan)
Tahapan awal dimana bayi mengembangkan kesadaran apakah dunia merupakan tempat yang baik dan aman atau tidak. Jika ia merasa aman, ia akan mengembangkan rasa percaya pada hal yang membuatnya merasa aman. Namun jika ia merasa tidak aman, pribadi yang menolak akan terbentuk dan hal tersebut dapat berpengaruh terhadap tahap-tahapan selanjutnya. Seorang ibu memainkan peran penting dalam tahap ini.
2. Autonomi vs Shame and Doubt (18 bulan-3 tahun)
Anak mulai mengembangkan keseimbangan antara kemandirian serta kemampuan mencukupi kebutuhan diri. Dan akan merasa malu dan ragu jika tidak dapat melewati masa ini dengan baik. Peranan orang tua sangat berpengaruh pada tahap ini, untuk membentuk pribadi yang memiliki keyakinan pada kemampuannya.
3. 3. Initiative vs Guilt (3-6 tahun)
Anak mulai mengembangkan sifat-sifat inisiatif ketika didukung oleh lingkungan sekitar saat mencoba berbagai kegiatan baru dan akan diliputi rasa bersalah jika tidak dapat mengerjakan tugas yang ingin dicapai.
4. Industry vs Inferiority (6 tahun-pubertas)
Anak belajar serta mengembangkan berbagai keterampilan budaya, atau menghadapi berbagai perasaan tidak mampu dan mengembangkan rasa rendah diri jika dapat menuntaskan apa yang menjadi tujuannya.
5. 5. Identity vs Identity Confusion (pubertas-dewasa muda)
Remaja pada tahap ini mulai menentukan kepribadian dan kediriannya sendiri (siapa aku?) atau jika tidak bisa terlewati dengan baik, akan mengakibatkan kebingungan terhadap jati dirinya.
6. 6. Intimacy vs Isolation (dewasa muda)
Pribadi pada masa ini berusaha untuk membuat suatu komitmen dengan orang lain. Jika pada tahap ini tidak berhasil, individu tersebut akan merasa terasing dan hanya tertarik pada kesibukannya sendiri.
7. 7. Generativity vs Stagnation (dewasa tengah)
Pribadi yang matang dan peduli dengan kemapanan dan membimbing generasi berikutnya. Atau merasa lemah secara pribadi jika tidak dapat memenuhi tahapan sebelumnya.
8. 8. Integrity vs Despair (dewasa akhir)
Tahap lansia, tahapan dimana pribadi mencapai penerimaan hidupnya sendiri, membuatnya dapat menerima kematian, atau merasa putus asa atas ketidakmampuannya dalam menghidupkan kembali kehidupannya.
Demikian tahapan-tahapan Erikson mengenai perkembangan pribadi seseorang yang terkenal dengan teori psikososial. Sedangkan, Sigmund Freud (1856-1939), seorang dokter dari Wina, merumuskan sudut pandang psikoanalisis, yang memandang perkembangan pribadi seseorang sebagai hal yang dibentuk oleh daya-daya tidak sadar yang memotivasi perilaku manusia.
Freud menyatakan bahwa kepribadian yang terbentuk melalui masa kanak-kanak yang tidak disadari menimbulkan antara berbagai dorongan id bayi dan tuntutan hidup yang beradab. Berbagai konflik muncul dalam rangkaian yang selalu sama dari lima tahapan perkembangan psikoseksual, yaitu rangkaian yang selalu sama dari tahapan-tahapan erkembangan kepribadian, selama masa bayi, kanak-kanak, dan remaja, dimana kepuasan bergeser dari mulut ke anus dan kemudian ke alat kelamin. Freud juga menyatakan bahwa jika anak-anak menerima terlalu sedikit atau terlalu banyak kepuasan pada tahapan apapun, mereka berisiko mengalami fiksasi, yaitu suatu penahanan dalam perkembangan yang dapat mempengaruhi kepribadian dimasa dewasa.
1. Tahap oral (0-18 bulan)
Sumber kenikmatan bayi mencakup dari berbagai aktivitas yang berorientasi pada mulut. Seperti saat sedang menyusu, menghisap jempol dan semacamnya. Freud mengatakan, tiga tahapan awal pada individu merupakan tahapan terpenting yang sangat mempengaruhi kepribadian anak tersebut.
Bayi yang kebutuhan oralnya tidak terpenuhi dengan baik, cenderung tumbuh menjadi orang yang sering menggigit kuku atau perokok, atau menjadi pribadi yang benar-benar kritis.
2. 2. Tahap anal (18 bulan-3 tahun)
Anak mendapatkan kepuasan sensual dari menahan dan mengeluarkan kotoran. Daerah kepuasannya adalah bagian anal, dan pelatihan toilet (toilet training) merupakan bagian yang penting. Orang yang terfiksasi pada tahap anal mungkin akan terobsesi pada kebersihan, terikat dengan jadwal dan rutinitas secara kaku, atau sangat berantakan.
3. 3. Tahap phalik (2-6 tahun)
Anak lekat dengan orang tua berbeda jenis kelamin (adanya oedypus complex dan electra complex) dan kemudian melakukan identifikasi dengan orang tua berjenis kelamin sama. Superego anak mulai berkembang. Daerah kepuasannya beralih pada daerah alat kelamin.
4. 4. Tahap latency (6 tahun-pubertas)
Merupakan waktu yang relative tenang antara tahapan-tahapan yang lebih bergejolak. Anak bersosialisasi, mengembangkan keterampilan, serta mempelajari diri mereka dan masyarakat.
5. 5. Tahap genital (pubertas-dewasa)
Muculnya kembali dorongan-dorongan seksual pada masa phalik, disalurkan ke seksualitas dewasa yang matang. Freud menyebut ini sebagai heteroseksual dengan orang-orang diluar keluarga aslinya.
Kepribadian sehat
Menurut teori psikoanalisa mengenai orang dengan kepribadian sehat dicirikan dengan tidak ada gejala gangguan atau kalaupun ada gejalanya masih dalam kategori normal, Karena umumnya seorang individu pasti mengalami suatu gangguan, tapi intensitasnya tidaklah besar.
Sebagian besar teori dalam psikologi menjelaskan cirri-ciri individu yang sehat secara mental, cirri-ciri tersebut antara lain:
- Hidup saat ini
Individu yang sehat mental adalah individu yang tidak dipusingkan oleh masa lalunya. Dia mampu membebaskan diri dari pengalaman mala lalu, terutama kejadian traumatis yang pernah dialaminya di masa lalu. Individu yang sehat juga tidak mengkhawatirkan masa depannya, karena belum terjadi. Ia mengusahakan semaksimal mungkin dirinya untuk masa sekarang ini.
- Hidupnya digerakan oleh tujuan
Individu yang sehat mentalnya memiliki nilai-nilai hidup yang dipandang penting dan nilai-nilai tersebut diupayakan serta diperjuangkan terus menerus untuk mencapainya.
- Persepsi yang objektif
Individu yang sehat adalah individu yang mampu menangkap realita secara jernih. Kenyataan dan situasi dipersepsikan tepat mendekati kenyataan yang sesungguhnya. Sebaliknya, individu yang sakit akan mempersepsikan sesuatu yang jauh dari kenyataan sebenarnya.
- Memiliki tanggung jawab terhadap orang lain
Individu yang sehat adalah individu yang dapat mengembangkan cintanya, baik pada dirinya sendiri maupun pada keberadaan orang lain. Individu yang sehat akan melihat pertumbuhan dan perkembangan orang lain menjadi sama pentingnya dengan pertumbuhan dan perkembangan diri sendiri. Tokoh yang mengangkat konsep tanggung jawab antara lain Fromm dan Maslow.
- Kesempatan hidup sebagai tantangan, bukan ancaman
Orang yang sehat adalah orang yang selalu berusaha meningkatkan tekanan yang dialami dan tidak menurunkan/merendahkan tekanan hidupnya. Orang yang sehat akan merasa bosan jika tidak ada tantangan dalam kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hall, Calvin. S., & Lindzey, Gardner. 2005. Teori-teori psikodinamik (klinis). Yogyakarta: Kanisius
Papalia, Diane. E., dkk. 2009. Human development, edisi 10. Jakarta: Salemba Humanika
Siswanto. 2007. Kesehatan mental; konsep, cakupan, dan perkembangannya. Yogyakarta: C.V Andi Offset
Sudarma, M. 2008. Sosiologi untuk kesehatan. Jakarta: Salemba Medika
Wratsongko, M. 2008. Shalat jadi obat. Jakarta: PT Elex Media Komputindo